Muka Berlumur Tanah di Pendakian Pertama

by - Oktober 15, 2019

Sebagai seseorang yang belum pernah keluar dari rumah untuk melihat keindahan alam yang sebelumnya hanya bisa saya lihat dari gambar, belum familiar sebenarnya apa saja yang harus dipersiapkan sebelum naik gunung. Rasa ingin tahu untuk merasakan hembusan angin di gunung, terbitnya sang fajar membuat saya bertekad untuk bisa pergi ke salah satu puncak di negeri ini.

Gayung bersambut, pada bulan Maret 2015 salah satu rekan saya mengajak untuk naik sebuah gunung atau lebih tepatnya bukit. Gunung Panderman namanya, menurut dari salah satu blog yang saya baca nama Panderman disebut diambil dari nama seorang pendaki pertama asal Belanda yakni Van Der Man. Dari Van Der Man, penduduk sekitar menjadikannya nama gunung tersebut dengan Gunung Panderman.  Gunung ini terletak di kota Batu dengan ketinggian 2045 mdpl.

Terus terang saya tidak tahu harus mempersiapkan apa sebelum itu, carrier tak punya, sepatu atau sandal outdoor pun tak punya, celana yang saya pakai adalah celana jeans, jaket yang saya kenakan adalah jaket yang tembus angin, menyerap air, dan pasti akan membuat saya menggigil di atas sana. Ternyata pendakian ini tidak hanya kami berdua yang berangkat, saya dikenalkan ke rekan lainnya yang berjumlah dua orang, otomatis kami berangkat berempat menuju gunung Panderman. Sebelum itu, salah satu dari rekan baru saya tersebut meminjamkan jaket dan celana yang lebih pantas dan aman untuk naik gunung. Ya Tuhan terimakasih Kau telah mempertemukan aku dengan orang-orang baik seperti mereka. 

Pendakian awal dimulai pukul 22.00 wib dari basecamp, kami mulai menyusuri perkebunan warga untuk menuju ke Pos 1. Jalanan menuju Pos 1 ini untuk saya yang jarang olahraga, sudah membuat saya ngos-ngos an untuk melanjutkan perjalanan. Rekan saya yang lain sudah berpengalaman dalam pendakian, beruntung nya mereka sabar menemani saya yang sering minta istirahat, hehehe. 

Sialnya perjalanan menuju Pos 1 kami diguyur hujan deras, sudah tidak bawa jas hujan, sepatu pakai seadanya, sungguh benar benar tidak ada persiapan untuk ini. Rekan saya mengalah untuk memberikan jas hujannya untuk saya pakai. Di tengah jalan, sepatu yang kenakan licin dan tidak tepat untuk digunakan saat kondisi hujan seperti ini membuat saya jatuh terjerembab dengan muka saya mencium tanah, alhasil tengah malam muka saya penuh dengan lumpur, sungguh lengkap rasanya penderitaan ini. Salah satu rekan saya lainnya menyerukan "Ayo dikit lagi kita sampai!". Tak lama kemudian kami memang benar sampai di Pos 1 yang disebut dengan Latar Ombo. 
 
 
 

Kami memutuskan untuk mendirikan tenda disini, karena dilihat dari kondisi saya yang sudah basah kedinginan, dan salah satu rekan saya juga sudah merasa kelelahan. Trust me mereka sabar banget untuk menemani saya di pendakian ini. 


Esok pagi nya kami melanjutkan perjalanan menuju puncak untuk melihat matahari terbit, tapi kenyataan berkata lain, kami sampai di Pos 2 atau yang biasa disebut Watu Gede, sang fajar sudah mulai menampakkan diri. Kami berhenti sejenak untuk menikmati hangatnya mentari. Tak berapa lama kami melanjutkan perjalanan ke puncak Panderman. 


Sesampainya di puncak kaki yang semula berat untuk di ajak berjalan, tibatiba saja berdiri kuat. Saya merasa bersyukur dengan apa yang saya dapat saat itu. Keindahan yang bisa saya nikmati tidak hanya dari layar laptop, hp, atau media elektronik lainnya. Tidak hanya itu, saya mendapat rekan yang menganggap saya seperti adik atau keluarga mereka. Hal ini membuat saya bertekad, lain kali saya harus pergi lagi menyelinap untuk melihat karya Tuhan ini. Kenapa saya katakan menyelinap? Karena pada dasarnya, saya tidak diizinkan oleh orang tua untuk pergi apalagi mendaki. Kalian tahu banyak orang tua yang khawatir jika nanti anaknya mengalami kejadian buruk saat jauh dari rumah. Tapi, pada dasarnya saya bandel, saya tetap ingin mengulang pengalaman ini, untuk menciptakan pengalaman-pengalaman baru lainnya.


Epilog:
 
Sungguh, saya bangga bisa berada di atas sana saat itu. Entah untuk kalian yang sudah sering mendaki ke puncak-puncak gunung lainnya mungkin hal biasa bahkan bukan apa-apa. Tapi untuk saya yang tidak memiliki surat izin dari orang tua untuk keluar rumah ini adalah hal yang luar biasa. Jangan tanya cara menyelinapnya bagaimana, sungguh rumit. Bersyukurlah kalian yang bisa menikmati ciptaan Tuhan tanpa harus lari dari orang tua.

You May Also Like

0 comments